HIKMAH RAMADHAN : MENJAGA PERUT DAN POLA HIDUP SEDERHANA

 Pada suatu hari Rasulullah SAW kedatangan tamu seorang dokter (tabib) bangsa Yahudi yang datang dari Palestina. Ia minta izin untuk buka praktek di kota Madinah. Rasulullah pun mengizinkan. Singkat cerita sang dokter pun itupun mulai buka praktek. Tapi baru satu bulan kemudian ia datang lagi menemui Rasulullah untuk permisi pulang ke negerinya. Rasulullah pun tidak bisa menyembunyikan keheranannya. “Kenapa anda begitu cepat meninggalkan kota ini, apa ada yang kurang menyenangkan di kota ini?” tanya Rasulullah. “Tidak tuan. Semua baik-baik saja. Bahkan penduduk kota ini sungguh sangat ramah dan menyenangkan,” jawab sang dokter (tabib). “Lalu, apa yang menjadi masalahnya?, tanya Rasulullah kemudian. Kemudian sang tabib berterus terang, bahwa ia ingin cepat pulang ke negerinya karena selama satu bulan buka praktek di kota Madinah, tak satupun warga kota yang datang untuk berobat kepadanya. Padahal di negerinya ia termasuk dokter ahli/pakar/spesialis yang cukup terkenal dan banyak pasiennya.

Dokter itupun melanjutkan ceritanya. “Karena penasaran, saya berkeliling kota masuk kampung ke luar kampung untuk mencari pasien yang sakit. Tapi tak satupun saya jumpai orang sakit untuk saya obati. Sayapun merasa heran, seluruh warga kota dalam keadaan sehat wal afiat. Belum pernah saya dapatkan kota dengan seluruh penduduknya yang sehat seperti di kota Madinah ini,” ujarnya panjang lebar. “Lalu, saya pun bertanya kepada penduduk yang saya jumpai, apa rahasianya sehingga mereka hidup nyaris sehat sempurna?” lanjut sang dokter. “Lantas apa jawab mereka? tanya Rasulullah tak sabar. Mereka pun menjawab : Kami adalah kaum yang tidak akan makan sebelum datang rasa lapar. Dan apabila kami makan, tidak sampai kekenyangan. Begitulah jawab mereka tuan,” jelas sang dokter itu. Mendengar cerita sang dokter tersebut, Rasulullah pun berkomentar, “Sungguh benar apa yang mereka katakan kepada tuan,” kata Rasulullah sambil menyitir sebuah hadits, yang artinya : “Lambung manusia itu tempatnya segala penyakit, sedangkan pencegahan itu pokok dari segala pengobatan.”

Mengambil hikmah dari cerita dokter di atas, bisa kita simpulkan bahwa kaum muslimin pada masa Rasulullah saw adalah umat atau kaum yang sangat disiplin dalam mempraktekkan pola hidup sederhana. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud ra bahwa , “‘Kami adalah kaum yang tidak akan makan sebelum datang rasa lapar. Dan apabila kami makan, tidak sampai kekenyangan.” menggambarkan sikap hidup mereka yang sangat berhati-hati dalam soal mengendalikan perut.

Muncul pertanyaan, apakah mereka mempraktekkan nilai-nilai itu “tidak akan makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kekenyangan” dikarenakan mereka hidup dalam kemiskinan? jawabannya tidak. Sebab pada saat itu justru mulai bermunculan orang-orang kaya baru seperti Abdurrahman bin Auf yang sukses dengan bisnisnya. Tapi meskipun mereka kaya, mereka tidak rakus. Pola hidup sederhana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah benar-benar mereka praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal secara logika tidak ada larangan untuk menikmati sesuatu yang menjadi miliknya. Toh makanan itu mereka beli dari hasil kerja mereka sendiri, bukan mencuri, merampas hak orang apalagi hasil korupsi. Tapi semua itu tidak mereka lakukan, meskipun dalam kondisi mampu untuk menikmatinya. Karena dengan pemahamannya itu lantas mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yakin bahwa tanpa kendali perut hanya akan menjadi tempat segala macam penyakit baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Yang bersifat fisik seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat non fisik adalah segala bentuk penyakit kejiwaan (psikis), seperti tamak, serakah, rakus, konsumtif, materialistis, dan lain-lain, yang hanya bisa diobati dengan dzikrullah dan senantiasa bertaqarrub kepada Allah SWT.

Dalam QS. Al A’raf ayat 31 mengingatkan :

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Maksudnya berlebih-lebihan adalah janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan karena banyak makan akan redupkan cahaya hati. Al Harali seorang Ulama besar mengatakan bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat mental pemakannya. Secara lebih tegas, pengaruh itu seperti terungkap dalam wasiat Luqman al Hakim pada putranya : “Wahai putraku, jika kamu penuhi lambungmu maka akan tidur pikiranmu, membisukan hikmah, mendudukkan anggota badan dari beribadah dan pada perut kosong itu banyak faidahnya yaitu menjernihkan hati, mencerdaskan manusia dan menajamkan bashirah. Kenyang itu menyebabkan kedunguan, menidurkan pikiran, membutakan hati dan memperbanyak uap dan cairan dalam lambung.”

Perut itu merupakan anggota, jika ia lapar akan menentramkan anggota lainnya. Jika ia (perut) kenyang, maka anggota lainnya menjadi lapar, banyak permintaan dan kemauan. Bukankah banyak makan membuat kita banyak minum akibatnya membuat malas dan mengantuk. Langkah ini adalah awal dari berseminya bibit-bibit menidurkan pikiran dan timbulnya kedunguan seperti yang dilansir Luqman al Hakim di atas.

Dalam kondisi perut kenyang, mengerjakan ibadah terasa begitu berat. Sebaliknya dorongan untuk berbuat maksiat justru semakin kuat. Banyak makan mengundang timbulnya keburukan yang beruntun, perut yang kenyang menjadi jalan yang mulus bagi iblis untuk membisikkan tipu dayanya, sehingga pelakunya mudah terjebak dalam kubangan perilaku buruk yang pada gilirannya hanya akan menyesatkan.

Diceritakan Nabi Yahya as. Bertemu iblis yang sedang membawa alat pancing. Bertanya Yahya as pada iblis, “Untuk apa alat pancing itu?” Iblis menjawab, “Inilah syahwat untuk mengail anak adam (manusia).” Lalu Yahya as bertanya lagi, “Adakah padaku yang dapat kau kail?”Iblis menjawab, “Tidak ada, hanya pernah terjadi pada satu malam engkau makan agak kenyang, kami dapat menggaet engkau sehingga merasa berat untuk mengerjakan sholat.” Lalu Yahya as berujar “Waah! Jika demikian aku tidak mau kenyang lagi seumur hidup.” Seketika itu iblis berujar,”Waduh menyesal sekali kami buka rahasia ini, dan seterusnya kami tidak akan menceritakan lagi rahasia ini kepada siapapun.”

Banyak makan dan kenyang tak ubahnya racun yang mematikan hati, menimbulkan berbagai penyakit dan memberatkan seseorang untuk melaksanakan ibadah. Ketika “panglima” yang menggerakkan aktivitas ini terkontaminasi dengan racun, jalan untuk menghamba dan mengakui segala keagunganNya pun terasa jauh dan berat. Nabi saw bersabda : “ Janganlah kamu mematikan hati dengan banyak makan dan minum yang halal, sebab hati itu seperti tumbuh-tumbuhan, ia akan mati bila terlalu banyak disiram.” Tidak berlebihan pula, jika Ibrahim bin Adham berucap, “Barangsiapa memelihara perutnya, akan terpelihara agamanya. Barangsiapa yang mampu menguasai rasa laparnya, akan memiliki akhlak yang baik. Karena sesungguhnya kemaksiatan kepada Allah itu jauh dari hamba yang lapar dan dekat kepada hamba yang kenyang.”

Pendengar yang berbahagia.

Dari uraian di atas dapat dipahami mengapa jauh-jauh Al Qur'an dengan lantangnya membenci tindakan yang berlebih-lebihan. Benang merahnya bahwa sikap berlebihan dalam hal ini banyak makan/kekenyangan yang menuntun pelakunya untuk melakukan keburukan beruntun, sehingga menyebabkan kemalasan dan berat dalam beribadah kepada Allah SWT. Dengan berpuasa di Bulan Ramadhan ini, semoga kita terhindar dari banyak makan yang bisa redupkan cahaya hati yang akan jauh dari Allah dan semoga kita selalu mendapat rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga bisa merasakan manisnya beribadah di Bulan Ramadhan. Aamiin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHOTMIL QUR’AN DI KUA PURWOKERTO TIMUR

MINDSET ASN